Ilmu Al-muhkam wa Al-mutasyabih
A. Pengertian Al-Muhkam wal Mutasyabih
Secara etimologis muhkam berasal dari kata hakama dengan pengertian “mana’a”
yaitu melarang untuk kebaikan. Kendali yang dipasang di leher binatang disebut
hakama. Orang Arab mengatakan hakamatu ad-dabbah artinya aku melarang binatang
itu dengan hikmah. Jika dikatakan ahkantuha artinya ja’altu laha hakamah yaitu
aku pasang kendali pada binatang itu agar tidak bergerak liar.
Dari pengertian ini muncul kata al-hikmah yang berarti kebijakan, karena ia dapat mencegah kepemilikanya dari hal-hal yang tidak pantas. Ahkam al-amr berarti ia menyempurnakan suatu hal dan mencegahnya dari kerusakan; Ahkam al-faras berarti ia membuat kekang pada mulut untuk mencegahnya dari goncangan. Dan juga al-hukm yang berarti memisahkan antara dua hal. Al-hakim adalah orang yang mencegah kejadian kezaliman, memisahkan antara dua pihak yang berperkara, serta memisahkan antara yang hak dan yang batil, dan antara yang jujur dan bohong.
Jadi al-Muhkam adalah perkataan yang kokoh, rapi, indah, dan
benar. Dengan pengertian seperti itulah Allah SWT mensifati Al-Qur’an bahwa
keseluruhan ayat-ayatnya adalah muhkam seperti diterangkan dalam firmannya
dalam Q.S Hud 11: 1 yang artinya
“Alif laam raa, (inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan kokoh
(uhkimat) serta dijelaskan secara terperinci (fushshilat), yang diturunkan dari
sisi Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”
Al-Qur’an seluruhnya muhkam dalam arti seluruh ayat-ayat Al-Qur’an itu kokoh, fasih, indah dan jelas, membedakan antara hak dan batil dan antara yang benar dan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-hikam al’am atau muhkam dalam arti umum.
Sedangkan secara etimologis mutasyabih berasal dari kata
syabaha-asy-syibhu-asy-syabahu-asy-syabihu, hakikatnya adalah keserupaan dan
kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Misalnya dari
segi warna, rasa, keadilan, dan kezaliman. Apabila diantara dua hal tidak bisa
dibedakan karena adanya kemiripan antara keduanya disebut asy-syubhan. Misalnya
tentang buah-buahan di surga (Q.S Baqarah 2: 25).
Buah-buahan di surga itu satu sama lain serupa warnanya, bukan rasa dan
hakikatnya.
Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamatsil (sama) dalam perkataan
dan keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian
perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagai yang lain. Dengan pengertian
seperti itulah Allah SWT mensifati Al-Qur’an bahwa keseluruhan ayat-ayatnya
adalah mutayabihah seperti diterangkan dalam firman-Nya dalam Q.S Az-Zumar 39:
23 yang artinya:
“ Allah telah menurunkan perkataaan yang paling baik yaitu Al-Qur’an yang
serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang ulang. . . “
Dalam uraian di atas jelas bahwa dalam Al-Qur’an seluruhnya adalah
muhkam dan mutasyabih. Tidak demikian halnya jika kita menilainya dari
terminologis, karena sebagai ayat-ayat Al-Qur’an muhkamat dan sebagian lagi
mutasyabih sebagaimana dalam firman Allah SWT Q.S Ali ‘Imran ayat 3: 7 yang
artinya:
“Dia-lah yang Menurunkan Kitab (al-Quran) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada
ayat-ayat yang muhkamat”. Itulah pokok-pokok Kitab (al-Quran) dan yang lain
mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan,
mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari
takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan
orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (al-Quran),
semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran
kecuali orang yang berakal.”
Menurut ayat ini, jelas bahwa ayat-ayat Al-Qur’an ada yang Muhkam
dan ada yang Mutasyabih. Atas dasar itulah maka para ulama memberi definisi
kedua jenis ayat itu. Diantaranya:
Definisi dari Dr. Amir dinyatakan sebagai pendapat Ahlu Sunnah. Muhkam adalah
ayat yang bisa dilihat pesannya dengan gamblang atau dengan melalui ta’wil,
karena ayat yang perlu dita’wil itu mengandung pengertian lebih dari satu
kemungkinan. Adapun Mutasyabih adalah ayat-ayat yang pengertian pastinya hanya
diketahui oleh Allah.
Definisi dari Ibnu Abbas. Muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung pengertian bermacam-macam.
Muhkam adalah ayat yang maknanya rasional. Artinya, dengan akal manusia saja pengertian ayat itu sudah dapat ditangkap. Tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan. Misalnya, bilangan raka’at di dalam salat 5 waktu. Demikian juga penetapan kewajiban shaum yang dijatuhkan pada bulan Ramadhan, bukan pula bulan Sya’ban atau Muharam.
Ayat-ayat Al-Qr’an yang muhkam adalah ayat yang nasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan halal, haram, hudud, faraidh dan semua yang wajib diimani dan diamalkan.adapun mutasyabih ayat yang padanya terdapat mansukh, dan qasam (sumpah) serta yang wajib diimani tetapi tak wajib di amalkan lantaran tidak tertangkapnya makna yang dimaksud. Definisi ini menurut Dr. Amir Abd al-Aziz, juga dinisbatkan kepada Ibnu Abbas.
Ayat-ayat muhkam yaitu ayat yang mengandung halal dan haram. Di luar ayat-ayat tersebut adalah ayat-ayat mutasyabih.
Ayat muhkam adalah ayat yang tidak ter-naskh (tidak mansukh). Sementara ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang dinasakh.
Kalau secara etimologis muhkam dan mutasyabih disebut sebagai al-ihkam al-‘am dan at-tasyabuh al-‘am, maka muhkam dan mutasyabih secara terminologis ini disebut sebagai al-ihkam al-khash dan at-tasyabiuh al-khash.
Contoh ayat mutasyabih antara lain adalah ayat Allah SWT dalm surat Al-a’raf 7: 54
Aspek-aspek Tasyabuh
Tasyabuh artinya kesamaran makna. Ada tiga aspek dalam ayat-ayat mutasyabihat,
yaitu segi lafal ayat, makna ayat, dan pada lafal dan makna ayat sekaligus.
1. Tasyabuh pada lafal ayat
Tasyabuh terjadi disebabkan oleh karena kosakata (mufrodat) yang digunakan oleh
Al Qur’an tidak umum dipakai oleh bangsa arab seperti penggunaan kata “abban”
dalam Surat Abasa ayat 31.
Dua orang sahabat yaitu Abu Bakar ash Shiddiq dan Umar ibn al Khathab tidak tahu makna kata “abban” tersebut. Tatkala Abu Bakar ditanya apa makna kata itu, beliau menjawab “Langit mana yang akan menaungiku, bumi mana tempat aku berpijak, jika aku katakan sesuatu tentang Kitab Allah apa-apa yang aku tidak punya ilmu tentangnya”. Senada dengan itu Umar juga menyatakan “Kata “fakihah” kita tahu, tetapi apa maknanya “abban?”. Makna “abban” baru diketahui setelah dihubungkan dengan ayat berikut.
Dari ayat ini baru jelas bahwa “fakihah atau buah-buahan” adalah kesenangan untuk kamu, sedangkan “abban” kesenangan untuk binatang ternakmu. “abban” artinya rumput-rumput untuk binatang ternak.
Tasyabuh juga disebabkan karena kata yang digunakan bersifat “musytarak” atau mempunyai lebih dari satu pengertian, misalnya kata “quru” yang terdapat dalam Surat Al Baqarah ayat 228.
Tasyabuh juga bisa terjadi disebabkan oleh susunan kalimat, baik kalimatnya ringkas, luas atau karena susunan kalimatnya. Contohnya dalam surat An-Nisa ayat 3.
2. Tasyabuh pada makna ayat
Tasyabuh terjadi disebabkan oleh karena kendungan makna ayat itu sendiri yang
berbicara tentang hal-hal yang ghaib seperti sifat Allah SWT dan hal ihwal Hari
Akhir. Hal-hal ghaib seperti itu, sekalipun tahu artinya, tetapi tentu saja
akal manusia tidak bisa mengungkap hakikat sifat-sifat Allah SWT dan hal ikhwal
mengenai Hari Akhir.
Jadi, tasyabuh bukan disebabkan oleh lafal yang gharib atau musyatarak, bukan pula dari susunan kalimat, tetapi justru dari kandungan makna ayat-ayat itu sendiri.
3. Tasyabuh pada lafal dan makna ayat sekaligus
Tasyabuh terjadi disebabkan oleh karena lafal dan makna ayat sekaligus.
Contohnya dalam surat Al Baqarah ayat 189. Tasyabuh pada ayat ini terjadi
karena lafalnya yang padat dan juga dari segi makna.
Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Al-Mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat
diketahui oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Sumber
perbedaan mereka terdapat dalam pemahaman struktur kalimat pada (QS. ‘Ali Imran
: 7)
Dalam memahami ayat tersebut, muncul dua pandapat. Yang pertama, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm di-athaf-kan pada lafazh Allah, sementara lafazh yaaquluna sebagai hal. Itu artinya, bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalami ilmunya,Yang kedua, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm sebagai mubtada’ dan yaaquluna sebagai khabar. Itu artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih hanya diketahui oleh Allah, sedangkan orang-orang yang mempelajari ilmunya hanya mengimaninya.
Sedang Ar-raghib Al-Ashfahany mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Beliau membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahuinya menjadi tiga bagan: